Mengobarkan Peperangan Melawan Khilafah Adalah Kemurtadan?

dabiq10 - apakah memerangi khilafah murtad

Syaikh mujahid Abu Muhammad al-‘Adnānī ash-Shami -semoga Allah melindunginya dan menjadikan dia sebagai duri dalam tenggorokan orang-orang murtad, munāfiqīn, dan para pencela- berkata, “Kami serukan kembali kepada para tentara dari faksi-faksi di Sham dan Libya. Kami ingatkan mereka agar berpikir panjang sebelum memerangi Daulah Islam, yang memerintah dengan apa yang diturunkan Allah. Ingatlah wahai kalian yang terfitnah, sebelum kalian memulai perang melawan Daulah Islam, bahwa tidak ada tempat di muka bumi di mana syari’ah Allah ditegakkan dan aturan sepenuhnya untuk Allah, kecuali di bumi Daulah Islam. Ingatlah bahwa jika Kalian mampu merebut satu jengkal, satu desa, atau satu kota darinya, maka hukum Allah di daerah itu akan diganti dengan hukum manusia. Kemudian tanyakan pada diri kalian sendiri, ‘Apa hukum seseorang yang mengganti atau menjadi asbab digantinya hukum Allah dengan hukum manusia?’ Ya, Anda akan menjadi kafir karena itu. Jadi berhati-hatilah, karena dengan memerangi Daulah Islam Kalian akan terjebak dalam kekufuran, baik Anda menyadarinya atau tidak” [Wahai Kaumku, Penuhilah Seruan Allah].

Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjamin saya untuk mengurus Sham dan rakyatnya” [Sahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Hawalah]. Khuraym Ibn al-Asadi Fatik (radhiallahu ‘anhu) mengatakan, “Orang-orang Syam adalah cambuk Allah di bumi. Dia mengambil pembalasan melalui mereka dari siapa yang Dia kehendaki dan dengan bagaimanapun cara yang Dia kehendaki. Munāfiqīn dikalangan mereka akan terhalang orang-orang beriman diantara mereka. Para munafik tidak akan mati kecuali dalam kecemasan, kemarahan, atau kesedihan” [Al-Mundhiri mengatakan dalam “At-targhib wat tarhib-“, “At-Tabari meriwayatkan itu marfu’ dan Ahmad mawqūf dan yang terakhir mungkin lebih tepat. Perawinya dapat dipercaya”].


Ini adalah rahmat Allah atas Sham dan rakyatnya, bahwa Daulah Islam memasuki bumi Sham yang diberkahi hingga menggagalkan makar Koalisi Nasional Suriah. Mereka menguasai beberapa kota dan desa di Syam, seperti al-Bab, I’zaz, ad-Dana, dan lain-lain yang sebelumnya dikuasai rezim Nusayrī  oleh Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan sekutunya yang menolak Syariat dan hukum-hukum didalamnya. Hingga akhirnya, Daulah Islam memerintah kota-kota dan desa-desa tersebut dengan apa yang telah Allah turunkan pada Rasul-Nya, ditegakkan hudud, memerintahkan kebaikan, melarang kejahatan, dan menyelesaikan perselisihan manusia dengan syari’at.

Mahkamah Syari'ah di ad-Dana, tutup setelah serangan penghianat Shahawat
Mahkamah Syari’ah di ad-Dana, tutup setelah serangan penghianat Shahawat

Oleh karena itu, kelompok murtad, munafik, bid’ah, penggemar korupsi, pemberontak, dan sekutunya -memiliki beragam kepentingan tetapi bersekutu satu sama lain- berpikir, mengevaluasi, merencanakan, berkolaborasi, dan mereka semua berpartisipasi dalam mempersiapkan pengkhianatan. Beberapa kelompok “netral” tetap berada di luar koalisi ini, seperti anak domba yang bingung, tidak dengan sisi yang satu tidak juga dengan yang lain.

Pada awalnya, Koalisi fasik Shahawat di Sham terdiri dari “Jaysh al-Mujahidin”, “Jabhah Islam”, “Jabhat Thuwār Suriya”, “Tentara Pembebasan Suriah”, dan Jabhah Jawlānī.1

Setelah itu, Allah memberkahi Sham dan rakyatnya dengan memukul mundur dan membalikkan makar Koalisi Shahawat dengan memberikan kekuasaan kepada Daulah Islam di tanah Sham yang diberkahi dan memperkuat agamaNya –agama sang kesatria yang ceria (shalallahu ‘alaihi wasallam)- di ar-Raqqah, al Barakah, al Khayr, Halab, Homs, dan di tempat lain. Kemudian penaklukan meluas di timur, sehingga ‘Irak dibebaskan, di Mosul, al-Anbar, al-Fallujah, Salahuddin, Kirkūk dan di tempat lainnya. Dan tentaranya terus berharap akan pertolongan Allah atas penaklukan Konstantinopel dan Roma.

Tidaklah Daulah Islam menaklukkan kota atau desa kecuali bahwa ia akan memerintah dengan syariat Allah setelahnya. Ketika kelompok tersesat di ar-Raqqah yang terdiri dari “Ahrar ash-Sham” dan Jabhah Jawlānī (yang sekarang dikenal sebagai “Liwa ‘Thuwwār ar-Raqqa”) membuat makar dengan menyerang Muhajirin dan Ansar di dalamnya, para mujahidin muwahhid mengusir mereka dari sana. Kemudian mereka (mujahidin) memberlakukan syari’at atas Wilayah itu seluruhnya. Mereka tegakkan shalat, mengumpulkan zakat, dan mendirikan Hisbah untuk memerintahkan yang baik dan melarang yang jahat (amar ma’ruf nahi munkar).

Mereka melaksanakan hudud, mengadili di pengadilan mereka dengan apa yang diturunkan Allah, mengembalikan hak-hak yang tertindas, melawan orang-orang kafir dan murtad, dan ditegakkan jizyah pada Ahlul-Kitab. Dengan demikian, ar-Raqqah menyaksikan apa yang belum pernah disaksikan sebelumnya, yaitu pelaksanaan hukum syari’at. Demikian juga yang terjadi di kota-kota lain dan desa-desa di Daulah Islam, semoga Allah menambah kemuliaannya dan menghinakan musuh-musuhnya.

Ya, tidak diragukan lagi bahwa Daulah Islam menaklukkan daerah-daerah, yang dulu diatur oleh selain apa yang diturunkan Allah, daerah yang dulunya diperintah oleh hukum kafir Partai Baath, berlanjut dengan hukum faksi-faksi dengan mental korup dan klaim-klaim palsu mereka. Kemudian daerah ini menjadi wilayah penerapan syari’at, bahkan musuh lebih dulu mengakuinya sebelum teman. Daulah Islam malah dituduh terlalu “tergesa-gesa” dalam menegakkan hukum syari’ah, “mengesampingkan tahap”, “mengabaikan manfaat dan mudharat (bahaya)” dan “tidak peduli tentang implementasi secara bertahap”.

Juga tidak ada keraguan, bahwa tanah yang dikuasai oleh Koalisi Shahawat sekarang tidak diperintah oleh apa yang diturunkan Allah. Dan hal “terbaik” dari daerah yang dikuasainya adalah dibentuknya “komite syari’ah” untuk memberikan ilusi Shari ‘ah. Sementara pada kenyataannya, mereka yang berada di komite itu sedang terfitnah dan tidak memerintah dengan syariat kecuali beberapa hukum hasil kodifikasi undang-undang mereka, seperti “Hukum Persatuan Arab” yang mengakomodir semua kepentingan faksi, atau hukum yang tidak menyinggung mitra koalisi maupun “mayoritas manusia”. Komite ini tidak menetapkan hukum Had terhadap seorang murtad diantara mereka yang mengejek Allah atau Rasul-Nya, atau mereka yang meninggalkan shalat. Mereka tidak menetapkan hukum Had kepada orang yang melampaui batas, seperti pencuri atau pelacur, dan mereka mengganti Had syar’i dengan ta’zir (hukum atas perbuatan dosa yang tidak diatur secara detil Had-nya). Otoritas mereka hampir terbatas pada urusan rekonsiliasi, dan bahkan dalam urusan ini (faksi) yang kuat memiliki keunggulan dan keistimewaan atas yang lemah.

Setiap pihak memiliki pandangan dan klaim sendiri. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa penerapan syari’at akan mendatangkan musuh bagi rakyat Sham dan mereka takut akan menderita kemalangan.

Lainnya mengatakan bahwa menyeru kebaikan akan lebih besar manfaatnya daripada penerapan syari’at yang saat ini mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya! Yang lainnya menyampaikan seruan palsu politik bodoh dengan dalih “Siyasah shar’iyyah”. Dan sebagian mereka adalah orang-orang yang pernah terikat dengan penerapan syari’at berdasarkan perjanjian para pemimpin partai atau dengan berkonsultasi pada kerelaan penduduk lokal yang akan menerapkan syari’at. Beberapa dari mereka adalah juga orang-orang yang menolak syari’at, seperti sekularis, modernis, dan Ikhwan. Di antara mereka ada juga orang-orang yang meremehkan syari’at. Mereka menyamakan zakat dan jizyah sebagai “pajak”, perbudakan (sabaya) perempuan musyrik dan mengambil mereka sebagai selir sebagai “percabulan”, pelaksanaan hudud sebagai “kebodohan”, permusuhan terhadap tawāghīt dan mushrikīn sebagai “kegilaan”, dan pelaksanaan hadd pada murtad sebagai “kejahatan”. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa “daerah yang dibebaskan” dari darul harb tidak diperbolehkan untuk diterapkan syari’at sampai perang berakhir. Dengan demikian, mereka telah bersaksi terhadap diri mereka sendiri dan kita tidak perlu memperjelas status mereka.

Ibnu Qudamah berkata, “Ketika orang-orang dari suatu negeri murtad, dan hukum mereka dieksekusi, maka negeri mereka menjadi Dār harb” [Al-Mughni]. Al-Mardāwī mengatakan, “Dār al-Harb adalah di mana hukum kufur menguasai suatu negeri” [Al-Insaf]. Dengan demikian, tersesat lah mereka yang terdistorsi memaknai Dar al-harb sesuai dengan minat partisan mereka. Bahkan, mereka menolak kewajiban -menerapkan syari’at– ini yang oleh mereka dipahami bahwa wilayah yang benar-benar mereka kuasai adalah Dār harb, bukan Dar Islām! Padahal, kewajiban untuk melaksanakan hudud adalah mulai dari perbatasan daerah yang telah “dibebaskan”! Ibnu Qudamah berkata, “hudud harus ditegakkan di pos-pos perbatasan karena ia adalah bagian dari negeri Islam, dan kami tidak tahu jika ada perbedaan pendapat tentang ini. Hal ini untuk mencegah orang-orang di perbatasan dari melakukan dosa sebagaimana di daerah yang lain. ‘Umar pernah menulis surat kepada Abu’ Ubaidah di Sham, memerintahkan untuk menyiapkan bagi siapa pun yang meminum khamer dengan 80 cambukan, dan itu di pos-pos perbatasan” [Al-Mughni].

Setelah pembersihan wilayah ar-Raqqah, al Khayr, dan al-Barakah dari Koalisi Shahawat, Daulah Islam tidak melanjutkan perluasan ke negeri di mana Shahawat memerintah, karena pada saat itu tentara Khilafah sedang fokus dalam kecamuk perang melawan Rafidah, Nushayriyyah, dan atheis di Irak dan Syam. Hal ini berlangsung hingga Koalisi Shahawāt memobilisasi berbagai faksi untuk melawan Daulah Islam yang -harapan mereka- telah menjadi lemah karena memerangi Tentara Salib dan sekutunya. Daulah tidak juga bergerak menuju mereka kecuali setelah para tawāghīt menyatakan dengan lidah mereka sendiri dengan nada bicara lantang tentang rencana mereka untuk “melindungi” Sham dengan operasi “badai” ilusi mereka dalam rangka melawan Daulah Islam dan memperkuat posisi Koalisi Shahawat. Mereka umumkan dukungan mereka untuk “Jaysh al-Fath”. (Jawlānī mengkonfirmasi kondisi ini dalam wawancaranya terkait dukungan bersyarat dari tawāghīt untuk sekutu-sekutunya di “Jaysh al-Fath”).

Pernyataan Nasional atas nama "Faylaq ash-Sham" dan koalisinya setelah "membebaskan" Idlib
Pernyataan Nasional atas nama “Faylaq ash-Sham” dan koalisinya setelah “membebaskan” Idlib

Dan setelah pecah pertempuran awal di pedesaan utara wilayah Halab antara Daulah Islam dan Koalisi Shahawat, banyak fatwa diterbitkan oleh para komentator yang duduk-duduk (absen) dalam jihad bersama kaum wanita, dan dari para ekstrimis murji’ah, serta saudara-saudara mereka dari “ulama” tawāghīt. Mereka membantah Daulah Islam, menuduhnya sebagai agressor, mengatakan bahwa tentara dan komandan Daulah khawarij telah keluar menuju kaum Muslimin dengan pedang. Padahal Daulah Islam tidak melakukan apa-apa kecuali melawan Koalisi Shahawat, yang diplot untuk penghancuran proyek Khilafah dan pelaksanaan syari’at.

Masalah ini membutuhkan klarifikasi, para Mujahid muwahhid harus tahu dengan siapa dan mengapa ia berperang, sebagaimana musuh juga harus tahu mengapa mereka diperangi dan dibunuh, sehingga memungkinkan bagi mereka yang sesat dan bodoh dalam barisan mereka sadar dan bertobat dari apa yang mereka lakukan. Dengan demikian, menjadi sangat perlu untuk memperjelas status Koalisi Shahawat sesuai dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Sekarang kita kembali pada apa yang juru bicara resmi Daulah Islam katakan dalam pidatonya yang terakhir [Hai Kaumku, Penuhilah Seruan Allah], ” Ingatlah wahai kalian yang terfitnah, sebelum kalian memulai perang melawan Daulah Islam, bahwa tidak ada tempat di muka bumi di mana syari’ah Allah ditegakkan dan aturan sepenuhnya untuk Allah, kecuali di bumi Daulah Islam. Ingatlah bahwa jika Kalian mampu merebut satu jengkal, satu desa, atau satu kota darinya, maka hukum Allah di daerah itu akan diganti dengan hukum manusia. Kemudian tanyakan pada diri kalian sendiri, ‘Apa hukum seseorang yang mengganti atau menjadi asbab digantinya hukum Allah dengan hukum manusia?’ Ya, Anda akan menjadi kafir karena itu. Jadi berhati-hatilah, karena dengan memerangi Daulah Islam Kalian akan terjebak dalam kekufuran, baik Anda menyadarinya atau tidak”.

Syekh (hafidhahullāh) menjelaskan bahwa mengganti hukum Allah dalam beberapa wilayah di dunia dengan hukum manusia atau menjadi penyebab atas itu -dengan mendukung orang-orang yang memerangi Daulah Islam yang memerintah dengan hukum syari’at- adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Dien, tidak ada keraguan akan kaidah ini bagi setiap muslim. Sementara Koalisi Shahawat -apapun bendera, tujuan, dan dalih mereka- sebenarnya sedang memerangi sebuah Daulah yang memerintah dengan syari’at dan memaksa kepatuhan manusia didalamnya terhadap hukum-hukumnya. Sedangkan Koalisi Shahawat mengganti syari’at Allah -yang Daulah telah tegakkan di wilayah yang dikuasainya- dengan hukum manusia. Klaim dangkal atas nama Islam dan ungkapan mereka untuk menerapkan syari’at (seperti halnya Jabhah Jawlānī dan lainnya dalam koalisi itu) tidak mempengaruhi kaidah ini. Meskipun mereka mengklaim bahwa mereka akan memerintah dengan syari’at setelah berakhirnya perang dan pembebasan menyeluruh, realitas dari perbuatan dan pernyataan mereka sangat bertentangan. Meskipun mereka memiliki otoritas di daerah yang mereka kuasai sekarang, mereka tidak memerintah dengan hukum syariah, bahkan tidak juga membangun sarananya (seperti menghukum orang yang murtad, menerapkan hudud, menegakkan jizyah, mengumpulkan zakat, membangun hisbah, dan sebagainya). Jikapun mereka “menerapkan” itu, maka mereka melakukannya secara parsial dan atas orang-orang yang lemah, tidak yang kuat. Lagipula, penggagas dan penyumbang dana dalam Koalisi Shahawat ini bukan untuk kelompok-kelompok pengklaim syari’ah. Maka, bersekutu dengan koalisi semacam ini dan berjuang bersama mereka dalam memerangi Daulah Islam, sesungguhnya mereka benar-benar berjuang melawan penegakkan syariat yang telah berdiri untuk kemudian menggantinya dengan sesuatu yang lain. Dan ini adalah kufur dan murtad!

Jika ada ada kelompok yang telah diatur oleh syari’at dan hukum-hukumnya, di luar Koalisi Shahawat, isolasi mereka, ingkari mereka, jaga jarak dengan mereka, tidak bekerja sama dengan mereka, tidak juga berjuang untuk saling membela dengan mereka apalagi dalam satu parit menjaga garis depan bersama mereka, tidak juga mengambil mereka sebagai sekutu dalam melawan Muslim, kecuali berjuang melawan Daulah Islam yang dikatakan sebagai negara penindas. Maka kelompok ini akan memiliki aturan yang sama dengan pejuang pemberontak Muslim. Tapi situasi hipotetis semacam ini tidak akan ditemukan di Syam.

Inilah “Jaysh al-Fath” yang dibentuk atas dukungan tawāghīt Qatar, Turki dan Al Salul, baru saja menaklukkan beberapa daerah di wilayah Idlib, apakah mereka memerintah dengan syariat? Apakah (setelah penaklukan) mereka tidak lagi menahan diri dari penerapan hukum syar’i seperti penegakkan jizyah, hudud, dan pelaksanaan hukum Had terhadap Druze jika mereka tidak bertobat dari kemurtadan mereka? Selanjutnya, apa putusan bagi mereka yang mengibarkan bendera jahiliyyah di tanah mereka? Apa hukumnya bagi para oposisi sekuler “revolusioner” diantara mereka? Apakah mereka dibunuh jika mereka tidak bertobat dari kemurtadan? Ataukah kepentingan “revolusi” dan “revolusioner” mendahului kepentingan tauhid dan jihad? Sehingga para sekuler tidak perlu dibunuh, sementara hanya “Khāwarij” yang pantas dibunuh? Itulah situasi terkini di wilayah Idlib, yang diambil alih oleh Jabhah Jawlānī setelah perjuangan mereka melawan murtad dari “Harakat Hazm” dan “Jabhat Thuwwār Suriya”.

Realita dari dua wilayah Idlib dan Halab (yang dikendalikan oleh Koalisi Shahawat) adalah bahwa mereka mengaturnya dengan hukum hutan rimba faksi-faksi. Setiap faksi memiliki komite dan beberapa komite ini menurut mereka adalah “syar’i”, meskipun terdapat manifestasi fitnah di dalamnya. Bahkan jika mereka harus mengadili suatu kasus dengan syari’ah, banyak hukum yang qath’i (jelas dan pasti) tetap harus menyesuaikan “syari’ah” mereka. Ini merupakan hal yang umum diketahui dan akhir-akhir ini menjadi bahan pujian pragmatis dari para Tentara Salib -seperti yang mereka klaim- kepada para komite dan faksi-faksi ini.

Komite "Syari'ah" yang tidak nenerapkan Hudud dan undang-undang Syari'at
Komite “Syari’ah” yang tidak nenerapkan Hudud dan undang-undang Syari’at

Bahkan jika beberapa dari mereka berkumpul dalam sebuah “komite syar’i”, mereka akan membagi otoritas di dalamnya antara hakim dari Ahrar ash-Sham, “Jaysh al-Islām,” Faylaq abu-Sham, “ulama” Suriah, Ikhwan, dan hakim yang “membelot dari rezim Baath” tanpa pertobatan syar’i, sehingga di antara mereka ada Sururi, Jami, sufi, yang Qubūrī, yang Asy’ari, yang Jahmi, modernis, dan Baathist! Jika orang-orang seperti ini berkumpul, apakah mereka akan menghakimi dengan syari’at? Bagaimana mungkin mereka akan menerima hukum yang mereka tuduh bertentangan dengan kepentingan umum dan menyebabkan bahaya yang lebih besar?

Beberapa dari mereka justru telah jatuh dalam kemurtadan bahkan sebelum diangkat sebagai hakim, seperti mereka yang meyakini dan mengambil bagian dalam pemilu demokrasi syirik. Atau mereka yang mencari syafaat dari orang mati, atau mereka yang mengambil tawāghīt (Arab dan non-Arab) sebagaimana juga Tentara Salib sebagai sekutu dekat, atau mereka yang menyangkal beberapa hukum Syar’i yang telah jelas.

Dan jika hakim “komite independen”  menjatuhi hukuman kepada salah satu kelompok, maka Anda akan melihat setiap kelompok mencari-cari alasan untuk pembebasan dirinya sendiri. Juga, setiap daerah memiliki komite yang saling bertentangan, masing-masing mereka seperti melempar hasil keputusan hakim ke dinding (tak berguna).

Koalisi Shahawat kenyataannya telah melawan Daulah Islam dan menghapuskan penerapan syari’ah yang sudah mapan, serta menolak syari’at di wilayahnya. Bukti nyata dalam hal ini adalah kota ad-Dana dan I’zaz serta kota dan desa lainnya. Setelah Koalisi Shahawat mengusir Daulah Islam dari kota-kota itu lebih dari setahun yang lalu, mereka tidak mengatur tempat ini dengan syari’at, kalaupun mereka menerapkannya sebagian, mereka meninggalkan sebagian besarnya.

Tidak satupun desa dari banyak tempat yang dikuasai oleh Koalisi Shahawat, yang diterapkan syariat di dalamnya. Sebaliknya, fitnah di tanah mereka sangat nyata, fitnah sebagaimana yang Allah (jalla wa ‘ala) sebutkan, {Perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan ketaatan hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim} [Al-Baqarah: 193].

{Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan sampai agama, semua untuk Allah. Dan jika mereka berhenti – maka sesungguhnya Allah Maha Melihat dari apa yang mereka lakukan} [Al-Anfal: 39].

Sulaiman al ash-Syaikh (rahimahullah) berkata, “Shaykhul-Islām Ibnu Taimiyah mengatakan ketika ia ditanya tentang isu memerangi Tatar sementara mereka mengaku mematuhi shahādatayn dengan (kesaksian Islam) dan mengaku mengikuti pokok-pokok Islam,”Setiap yang menolak hukum yang telah jelas dan pasti dari Islam, maka wajib untuk memerangi mereka sampai mereka mematuhi hukum-hukumnya (syari’at) walaupun jika mereka mengucapkan shahādatayn dan mengikuti sebagian hukum Islam, sebagaimana Abu Bakar dan sahabat (radhiallahu ‘anhum) memerangi mereka yang menolak membayar zakat. Para fuqaha’ setelah mereka menyepakati ini”.

Dia kemudian berkata,”Jadi setiap yang menolak beberapa kewajiban shalat, puasa, haji, atau menolak mematuhi larangan menumpahkan darah, penjarahan kekayaan, khamer, perjudian, zina, atau menolak ketaatan terhadap jihad melawan orang-orang kafir atau penegakan jizyah pada Ahlul-Kitab, [di fatwa lain dalam “Majmu ‘al-Fatawa” tambahnya, “atau menolak memerintahkan yang baik dan melarang kejahatan”] atau menolak taat atas kewajiban dan larangan agama, semuanya terkena dalam aturan/azas ini sekalipun ia tidak mengerti, maka secara individu telah kufur dengan menyangkalnya. Ini adalah sesuatu yang saya ketahui tidak ada perbedaan antara ulama”.

Dia berkata, “ini -menurut ulama yang paling bijaksana – tidak sama dengan bughat (pemberontak). Sebaliknya mereka telah keluar dari Islam sebagaimana mereka yang menolak zakat”. Jadi jika seseorang menganut semua hukum agama (Islam) tapi dengan tegas pula menolak larangan perjudian, riba, atau perzinahan adalah kafir sehingga wajib diperangi. Berapa banyak lagi contoh kasus yang berbuat syirik kepada Allah, diseru dan ditawarkan agama dengan tulus kepada Allah untuk menyatakan Bara’ah dan kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah, tapi ia malah arogan menolak, dan ini dari orang-orang kāfir”[ Taysir al-Aziz al-Hamid].

Ayahnya, Syaikh ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn’ Abdil Wahhab (rahimahullah) mengomentari fatwa dari Shaykhul-Islām Ibnu Taimiyah tentang bangsa Tatar, “Semoga Allah (Subhanahu wata’ala) mengasihi Anda, merenungi fatwa Imam ini bahwa seseorang yang secara tegas menolak salah satu hukum dari hukum-hukum Islam, seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, atau secara tegas menolak meninggalkan hal-hal terlarang seperti percabulan, pembunuhan, pencurian dan penjarahan, alkohol, atau minuman keras, dan sebagainya, maka wajib memerangi pihak yang menolak tersebut sampai agama hanya untuk Allah saja dan sampai mereka mematuhi semua hukum Islam, bahkan jika mereka mengucapkan syahadat dan berpegang pada beberapa hukum-hukum Islam. Ini adalah sesuatu yang semua ulama telah sepakat, sejak masa para sahabat dan orang-orang setelah mereka, dan bahwa ini adalah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, menjadi jelas bagi Anda bahwa ketaatan untuk Islam yang dibarengi dengan penolakan terhadap sebagian aturannya, tidak menyelamatkan mereka dari diperangi, dan bahwa mereka harus diperangi karena kekufuran dan kemurtadan mereka dari Islam sebagaimana jelas disampaikan pada akhir fatwa nya” [Al-kalimat an-Nāfi’ah].

Shaykhul-Islām Ibnu Taimiyah berkata, menjelaskan kewajiban untuk memerangi  kelompok yang menolak, “Ini karena Allah (Subhanahu wata’ala) berfirman dalam kitab-Nya, {Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan [sampai] agama, semuanya untuk Allah} [Al-Anfal: 39].

Jadi, jika sebagian dien untuk Allah dan sebagian lain dijadikan untuk selain Allah, maka menjadi wajib untuk memerangi mereka sampai agama adalah untuk Allah saja. Dia (Subhanahu wata’ala) mengatakan, {Tetapi jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, biarkan mereka (pergi) dalam perjalanan mereka} [At Taubah: 5].

Dia tidak memerintahkan untuk membiarkan mereka pergi kecuali setelah pertobatan mereka dari semua jenis kekufuran dan setelah mendirikan shalat dan memberikan zakat. Dia (Subhanahu wata’ala) mengatakan, {Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba, jika kamu orang yang beriman. Dan jika kamu tidak mengerjakannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu} [Al-Baqarah: 278-279].

Dia memberitahu kita dan mereka yang menolak, jika tidak berhenti dari riba, sama artinya mengobarkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Riba adalah hal terakhir yang Allah larang dalam Qur’an, sehingga apa yang Dia dilarang sebelum itu jelas sangat terlarang.

Dia berfirman, {Sesungguhnya, hukuman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, mereka dibunuh atau disalib atau tangan dan kaki mereka dipotong dari sisi yang berlawanan atau mereka diasingkan} [Al-Ma’idah: 33].

Dengan demikian, setiap orang yang tegas menolak mentaati Allah dan Rasul-Nya berarti telah mengobarkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa pun yang mengimplementasikan pada bumi ini selain Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, mereka adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi” [Majmu ‘al-Fatawa].

Salah satu ahli dzimmi di wilayah Raqqah
Salah satu ahli dzimmi di wilayah Raqqah

Dan diantara mereka yang bingung tentang orang-orang Shahawāt adalah para pengklaim jihad dalam barisan Jawlānī dan kelompok lain yang sejenis. Orang-orang menganggap mereka sebagai “yang paling Islam” diantara faksi-faksi Koalisi Shahawat. Jadi kami bertanya kepada mereka, orang yang mengakui bahwa ia tidak mengatur dengan syari’at dan tidak mengambil jizyah pada Kristen di “daerah yang telah dibebaskan” padahal ia mampu melakukannya, apakah dia memerintah dengan syariah?

Jawlānī mengatakan, “Situasi orang-orang Kristen sekarang adalah bahwa kami tidak memerangi mereka kecuali mereka memerangi kami, dan orang-orang Kristen tidak memerangi kami sekarang. Jika kita membangun pemerintahan Islam di wilayah tersebut, mereka akan tunduk kepada sistem Islam dan kekuasaan yang kita miliki. Selain itu, mengenai jizyah, siapa pun yang mampu membayar akan membayar, dan siapa pun yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar tidak akan membayar.

Sekarang, kita tidak memaksakan apapun pada mereka. Kami tidak sedang berperang dengan Kristen. Kami tidak melihat bahwa Kristen bertanggung jawab atas apa yang Amerika lakukan, kami juga tidak menuntut pertanggung jawaban mereka atas apa yang orang-orang Kristen Koptik lakukan di Mesir” [AlJazeera: Bila Hudud – Part 1].

Jika berperang adalah wajib terhadap orang-orang yang menjauhkan diri dari memaksakan jizyah pada Ahlul Kitab, lalu bagaimana dengan orang-orang yang memerangi Daulah Islam -yang membebankan jizyah pada Ahlul Kitab di Sham- dan menggagalkan penerapan hukum Allah ini dengan memerangi Daulah Islam, sementara aturan-aturan Allah ini tidak diterapkan oleh Jabhah Jawlānī dan sekutu-sekutunya?
Terlebih, Koalisi Shahawat yang terdiri dari “Tentara Pembebasan Suriah”, “Jabhah Shāmiyyah”, “Faylaq ash-Sham”, “Jaysh al-Islam”, “Jabhah Jawlānī”, di antara mereka adalah para nasionalis, pendukung demokrasi, Surūriyyah, agen Al Salul, dan para pendukung “jihad populis”.

Apakah orang semacam ini akan taat dan memerintah dengan syariah? Dan jika mereka membentuk koalisi melawan Daulah Islam, apakah diperbolehkan bagi para pengklaim pejuang syari’at untuk bergabung dengan koalisi mereka dan mendukung mereka dalam memerangi Daulah Islam? Dan jika kekuatan dan dukungan dalam koalisi itu adalah untuk selain syari’at Allah -dan inilah kenyataannya- tidakkah aksi mereka itu sama dengan meminta bantuan orang-orang kafir dalam melawan kaum Muslimin, yang hal ini sangat dilarang dan merupakan penyimpangan yang nyata.

Atau setidaknya, itu adalah sikap membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin, yang hal ini merupakan kemurtadan! Sedangkan bolehnya meminta bantuan dari orang kafir dalam memerangi kafir lainnya (bukan memerangi Muslim) saja memiliki banyak syarat, yang tidak mampu dipenuhi oleh para pengklaim pejuang syari’at dalam apa yang mereka lakukan bersama sekutu mereka dari kalangan faksi murtad untuk melawan Daulah Islam.

Aksi mereka pada kenyataannya merupakan bentuk membantu orang-orang kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslimin. Bukti dalam hal ini adalah bahwa di wilayah yang mereka rebut dari Daulah Islam, agama bukan hanya untuk Allah, kalaupun untuk Allah, sebagian besar adalah untuk selain Allah – untuk kepentingan, opini, tradisi, kode etik, hukum buatan manusia, dan faksi-faksi.

Syaikh ‘Abdul-Latif Ibnu Abdir-Rahman bin Hasan bin Muhammad Ibn’ Abdul-Wahhab, dalam sanggahan kepada mereka yang mengizinkan bantuan terhadap murtaddin dalam melawan kaum Muslimin dengan klaim bahwa mereka hanya mencari bantuan mereka, mengatakan, “Adapun Anda yang membolehkan meminta dukungan mereka, bukan itu masalahnya, tetapi lebih pada hal persekutuan kalian dengan mereka, sehingga membawa mereka ke sini, memberi mereka kontrol atas sebuah negeri Islam di mana mereka menghancurkan pilar-pilar Islam, prinsip-prinsip Dien, baik fundamental dan atau cabang-cabangnya. Dan dengan sistem kepemimpinan mereka yang membawa seperangkat hukum buatan manusia dan taghut yang mereka atur untuk mengadili orang-orang terkait darah dan harta mereka, serta hal-hal lainnya, dengan undang-undang yang bertentangan dengan syar’i. Untuk permasalahan apapun, mereka akan merujuk pada pengadilan dengan hukum buatan manusia, seraya melemparkan kitab Allah di belakang punggung mereka,”.

“Adapun mencari bantuan dari mereka [untuk melawan orang-orang kafir lainnya], ini adalah masalah di mana terdapat perbedaan pendapat. Posisi yang benar, yang para ulama terkemuka mengambilnya, adalah bahwa hal itu benar-benar dilarang.

Dasar mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah (Radiyallahu ’anha) yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, dan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur-Rahman bin Habib yang otentik dan marfu’. Lihatlah mereka dan Anda akan menemukan mereka dalam kitab yang Anda pegang.

Mereka yang mengatakan itu diperbolehkan mengambil riwayat mursal dari az-Zuhri sebagai pegangan, dan Anda tahu bagaimana riwayat mursal diperlakukan ketika mereka bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Selanjutnya, mereka yang mengatakan itu diperbolehkan dengan catatan beberapa kondisi: yang dilakukan harus untuk kebaikan umat Islam dan menguntungkan mereka, sedangkan dalam kasus ini mengandung kerusakan dan kehancuran bagi mereka.

Mereka juga menetapkan bahwa kaum mushrikīn tidak boleh memiliki kekuasaan yang ditakuti dan kewenangan, hal ini telah membatalkan posisi Anda dalam kasus ini. Mereka juga menetapkan bahwa musyrikin tidak boleh memiliki pengaruh dalam opini dan pengambilan keputusan, inipun merupakan kebalikan dari apa yang terjadi dalam kasus ini.

Semua ini telah disebutkan oleh para ulama fiqh dan tafsir hadits, dan [ash-Syaukani] telah menyebut ini dalam ‘Syarh al-Muntaqā’ [‘Naylul-altar’] dan telah menyatakan bahwa narasi mursal dari az-Zuhri sangat lemah. Semua ini mengenai pertempuran musyrik dengan Muslim terhadap musyrik lain.

Adapun seorang muslim yang mencari bantuan dari musyrik melawan kelompok baghi ​​(pemberontak), maka tidak ada yang memperbolehkannya selain mereka yang telah tersesat” [Ad-Durar as-Saniyyah].

Dia juga mengatakan pada masalah yang sama, “Kenyataan yang terjadi lebih parah dan jauh lebih besar dari sekedar mencari bantuan dan dukungan. Ini soal bersekutu dengan mereka dalam menghapus perlindungan terhadap orang-orang Islam dan tauhid dari mereka, menghilangkan prinsip-prinsip dan dasar-dasar Islam, menumpahkan darah kaum Muslimin, dan melanggar kehormatan dan harta mereka. Inilah realitas dari situasi sekarang ini.

Yang karenanya, kesyirikan terbuka dan terang-terangan, kekufuran meluas sampai-sampai bahkan tidak lagi terlihat jejak Islam sehingga sulit untuk rujuk kembali pada keselamatan. Bagaimana tidak, prinsip-prinsip tauhid dan Iman telah dihancurkan, undang-undang Al-Qur’an dan Sunnah disisihkan, generasi pertama -diantara orang-orang Badar dan bay’at ar Ridwan- dihina terang-terangan, syirik dan Syi’ah Rāfidī muncul secara terbuka di tempat-tempat dan tanah mereka? Dan orang-orang yang berusaha mengurangi situasi sekarang menambah masalah dengan mencari bantuan dari mereka, tidak memahami masalah, tidak juga menyadari akan bencana dan musibah yang telah terjadi” [Ad-Durar as-Saniyyah].

Dan ini mirip dengan situasi mereka, ketika Daulah Islam diusir dari beberapa negeri yang berada di bawah kendalinya, Tentara Pembebasan Suriah dan yang menyebut dirinya faksi “Islam” didukung oleh tawāghīt dari Qatar, Turki, dan Al Salul memasuki wilayah tersebut, mengangkat bendera sekularisme jahiliyah, dan menurunkan bendera tauhid dan Sunnah.

Mereka memenjarakan Muhajirin dan muhājirāt, menghakimi mereka atas darah, kehormatan, dan harta sesuai keinginan mereka. Mereka menutup Pengadilan Syariah dan menggantinya dengan hukum faksi-faksi dan komite mereka. Bahkan jika mereka menghakimi dengan hukum syariat di beberapa kasus yang mereka setujui, atau mengadili dengan beberapa hukum yang diturunkan Allah, mereka tetap tidak menggunakan sebagian besar hukum syari’at, dan mereka mengabaikan fitnah yang mana umat Islam diperintahkan untuk menghilangkannya bahkan dengan darah dan perang.

Shaykhul-Islām Ibnu Taimiyah (rahimahullah) menyebutkan kewajiban memerangi pihak sesat yang dengan tegas menolak mengadopsi ‘Aqidah Ahlus- Sunnah tentang tauhid nama dan sifat (asma wassifat) Allah, Qada’ dan Qadar, para sahabat, dan jama’ah [Majmu ‘ al-Fatwa: vol. 28, pg. 511]. Lalu bagaimana dengan faksi-faksi yang lebih sesat tidak diperangi? Bagaimana mungkin orang-orang yang berwali dan loyal kepada para tawāghīt; ‘Abdullah dan Salman Al Salul, Hamd dan Tamim Al Thani, Erdogan dan Koalisi Nasional Suriah (semoga Allah mengutuk mereka) dan menyatakan kebersamaan dengan pemerintah mereka menjadi saudara dan teman-teman dekat, bagaimana mereka tidak diperangi?

Mereka juga mengejek orang-orang yang membuat takfir terhadap tawāghīt dan orang-orang yang secara terbuka menunjukkan kebencian dan permusuhan mereka terhadap tawāghīt. Mereka mengklaim bahwa siapapun yang takfir terhadap tawāghīt adalah “bodoh” yang tidak tahu politik, atau merupakan “khāwarij”! Kemudian mereka menyetujui tindakan kufur yang nyata dilakukan oleh para tawāghīt, seperti masuk ke dalam agama demokrasi, nasionalisme jahiliyah, PBB, dan hukum internasional! Dan bagaimana mungkin mereka tidak diperangi sementara mereka memberikan kecenderungan dan pembelaan kepada sekutu mereka di antara faksi-faksi nasionalis diatas Muhajirin dan Ansar Daulah Islam? Mereka lebih memilih sekutu taghut daripada mengobarkan jihad di jalan Allah, bahkan masuk dan terlibat dalam koalisi mereka untuk melawan penegakan syari’at, yang lebih senang mereka sebut sebagai “Khawarij”, sementara menyebut para penentang syri’at itu dengan sebutan “mujahidin Muslim”.

Shaykhul-Islām Ibnu Taimiyah berkata, “Allah berfirman, {Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan sampai agama, semuanya untuk Allah. Dan jika mereka berhenti – maka sesungguhnya Allah adalah Melihat dari apa yang mereka lakukan} [Al-Anfal: 39]. Jadi siapa pun yang meninggalkan pertempuran yang Allah telah memerintahkan untuk menghilangkan fitnah, akan jatuh ke dalam fitnah karena keraguan dan penyakit dalam hatinya, dan karena ia meninggalkan apa yang Allah perintahkan dari jihad. Jadi renungkanlah, karena ini adalah masalah serius” [Majmu ‘al-Fatawa].

Jadi, wahai tentara dari Daulah Islam, lihatlah ke dalam jajaran Murtaddin yang dengan tegas menolak hukum syari’at, dan ingatlah bahwa Allah adalah lebih tinggi dan lebih besar dari pesawat tempur tentara salib yang para Murtaddin ini mengandalkannya dan berusaha berlindung dengannya.

Adapun kalian, wahai orang-orang yang meninggalkan rumah dan mengaku berjihad di jalan Allah untuk menjadikan kalimat Allah yang tertinggi dan kalimat orang-orang kafir yang terendah, dan kemudian berjuang di jajaran Koalisi Shahawat memerangi Daulah Islam, lihatlah di sekitar kalian, di depan kalian, di belakang kalian, ke kanan, ke kiri, dan di atas kalian. Apakah kalian tidak melihat sekutu tawāghīt itu? Tidakkah kalian melihat orang-orang yang membuat kerusakan di Bumi itu? Tidakkah kalian melihat, jasus (mata-mata) berkeliaran di tengah-tengah kalian? Apakah kalian tidak melihat jet tempur di atas mereka saling melindungi? Apakah kalian berjuang agar orang-orang ini dapat memerintah tanah Syam yang diberkati? Apakah kalian melihat jizyah dikenakan pada Ahlul-Kitab? Apakah kalian melihat hudud dilaksanakan di negeri ini? Apakah kalian melihat orang-orang yang memerintah dengan menegakkan shalat, zakat, kesucian dan jilbab? Atau orang-orang kiri “dibebaskan”, apakah mereka mau menyembah Allah atau menyembah tawāghīt itu?

Jadi, wahai orang-orang yang mengaku mendukung jihad, yang meninggalkan rumah dan pergi ke Syam untuk hijrah, sementara berada di Koalisi Shahawat, bertobatlah kepada Allah dan bangunlah, disadari atau tidak, demi Allah kalian sedang melawan syariat. Jadi kumpulkan saudara-saudaramu, satukan langkah, dan bunuhlah orang-orang yang meminta kalian untuk melawan Daulah yang memerintah dengan syariah.

Berontaklah para pemimpin kalian di Koalisi Shahawat, dan sembelih mereka sehingga saluran satelit tawāghīt dan pesawat tempur tentara salib menangis atas mereka. Jika kalian mampu membunuh Koalisi Shahawat di pusat mereka, sungguh itu jauh lebih baik daripada melakukan jutaan operasi yang membantu konsolidasi Negara-negara yang dengan tegas menolak hukum syari’at, operasi  palsu yang dengannya Syam akan diatur oleh selain apa yang diturunkan Allah, dengan persetujuan tawāghīt dan tentara salib.

Jadi, ledakkan sabuk peledak di tengah-tengah mereka. Tembak tentara mereka di dada. Halangi siapa pun yang memerangi orang-orang yang memerintah dengan syari’at. Buat mereka agar berhenti dan meninggalkan memerangi Mujahidin muwahhid, dan sebarkan ketakutan dalam barisan mereka. Kemudian, jika kalian tidak mampu merebut wilayah mereka, mengaturnya dengan syari’at, tidak juga mampu secara terbuka menyatakan bay’ah kalian kepada khalifah, dan juga jika kalian tidak memiliki keberanian untuk berada di tengah-tengah mereka dan membunuh mereka sebanyak-banyaknya dan mendukung Khilafah, maka berhijrahlah ke bumi Khilafah, demi Allah, ini adalah negeri terbaik bagi mereka yang ingin berhijrah kepada Allah.

Ya Allah, Yang Menurunkan Kitab, Yang Membolak-balikan hati, Yang Menggerakkan awan-awan, hancurkanlah persekutuan mereka, cerai beraikan mereka, dan tolonglah kami melawan mereka. Ya Allah, bangkitkan para mufti Shahawāt dan para keledai ilmu bersama-sama dengan Bal’ām Ibnu Bā’ūr, Ibnu Abi Du’ād, at-Tantawi, dan al-Būtī.

Wallahu’alam bishawwab..

Ulasan