Bahaya Meninggalkan Darul Islam – Hukum Berhijrah Menuju Darul Kufri

 The Danger of Abandoning Darul Islam

Terus berulangnya peristiwa warga Suriah dan Libya yang mati di pantai Turki, Libya, dan Italia, pun bahkan di jalan raya Austria, seharusnya membangkitkan hati dalam merefleksikan permasalahan hijrah.

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para Malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, Mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [An Nisaa 97-99]

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah ‘azza wa jalla tidak menerima amal dari seorang musyrik setelah masuk Islam hingga ia meninggalkan kaum musyrikin menuju kaum Muslimin.” [HR an Nasa’i dan Ibnu Majah, dari Mu’awiyah Ibn Haydah]


Meskipun kewajiban hijrah sudah begitu jelas, namun praktiknya kerap kali dilakukan salah kaprah oleh para pengklaim Islam, khususnya dalam memilih tujuan mereka untuk “berhijrah.” Kebanyakan mereka memilih negeri-negeri Kristen sebagai tujuan. Akan tetapi, setelah berdirinya daulah nabawiyyah, tujuan hijrah adalah al Madinah, bukan al Habasyah. Dan di era berkuasanya Umayyah dan ‘Abbasiyyah, tujuan hijrah adalah menuju bumi Khilafah, bukan Roma atau Konstantinopel. Dan dengan bangkitnya Daulah Islamiyyah hari ini, tujuan hijrah adalah wilayah Khilafah, bukan wilayah Nushairiy, Rofidhi, Shohawat, atau PKK, maupun Amerika, Eropa, dan sekutu-sekutu mereka dari kalangan thoghut.

Hijrah merupakan kewajiban berpindah dari Darul Kufri ke Darul Islam. Ibnu Qudamah, misalnya, mengatakan dalam, “Bab tentang Hijrah: Hijrah adalah meninggalkan Darul Kufri menuju Darul Islām.” Dia kemudian mengutip ayat-ayat yang dirujuk sebelumnya dan dalil-dalil lainnya. Kemudian dia berkata, “Syari’at hijrah akan tetap berlangsung dan tidak akan berhenti sampai Yaumul Hisab.” [Al Mughni] 

Ibnul Qayyim berkata bahwa “Jika hukum-hukum Islam tidak diterapkan di suatu tempat, ia bukanlah Darul Islam.” [Ahkam Ahludz Dzimmah] 

Ini terbukti, dimana sahabat tidaklah menganggap wilayah yang dikuasai oleh nabi-nabi palsu atau pemberontakan terhadap rukun zakat, melainkan menyebutnya sebagai Darul Harbi. Para Fuqoha’ juga tidak menganggap wilayah kekuasaan Tartar atau penguasa Ubaydiy sebagai Darul Islam, meskipun para penguasa di era tersebut mengklaim sebagai umat Islam dan menegakkan sebagian syari’at, mereka justru telah murtad dengan meninggalkan beberapa syari’at Islam. Oleh karenanya, berpindah menuju negeri Al Salul atau Shohawat bukanlah hijrah, karena para penguasa di negerinegeri itu -di samping mereka bersekutu dengan tentara Salib dan murtaddin dalam memerangi Islam- meninggalkan dan menolak banyak syari’at Allah. Tidak ada wala’ dan bara’ kecuali dalam ruang lingkup nasionalisme.

Sayangnya, beberapa warga Suriah dan Libya rela mengambil risiko kehidupan dan jiwa dari orang-orang yang mereka bertanggung jawab membesarkannya di atas syari’at -yakni anak-anak mereka- dengan mengorbankan kebanyakan dari mereka selama perjalanan berbahaya ke negeri yang mengobarkan perang Salib dan diatur oleh hukum atheisme dan asusila. Meskipun sebagian besar dari keluarga-keluarga pengungsi ini berangkat dari Darul Kufri – wilayah Shohawat, PKK, atau wilayah rezim – menuju negeri salibis, dan kemungkinan mereka meninggalkan Khilafah menuju Amerika atau Eropa guna mengejar dunia adalah sebuah persoalan yang harus berfokus pada hukum meninggalkan Darul Islam menuju Darul Kufur.

Oleh karenanya, perlu diketahui bahwa secara sukarela meninggalkan Darul Islam menuju Darul Kufri merupakan dosa besar yang berbahaya, karena merupakan bagian dari amal menuju kekufuran dan gerbang kesempatan bagi anak-anak dan cucu seseorang murtad dari Islam untuk memeluk Kristen, Atheisme, atau Liberalisme. Jika anak-anak dan cucu-cucu seseorang itu tidak terjatuh ke dalam praktik kekufuran, setidaknya mereka berada di bawah ancaman praktik dosa pencabulan, sodomi, narkotika, dan alkohol setiap harinya. Jika mereka tidak jatuh ke dalam dosa, mereka akan melupakan bahasa Qur’an -Arab- yang lebih dominan digunakan di Syam, Iraq, Libya, dan tempat lainnya, menjadikan lebih sulit bagi mereka untuk kembali pada Dien dan ajaran-ajarannya.

Ada sejumlah riwayat dalam as Sunnah tentang larangan kembali ke tanah air seseorang setelah hijrah, serupa dengan kasus meninggalkan Darul Islam menuju Darul Kufri.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Pemakan, pemberi, dan perantara riba – jika mereka mengetahui akad tersebut adalah riba – dan juga pembuat dan penerima tato untuk kecantikan, orang yang meninggalkan zakat, dan kembali menjadi seorang Badui setelah hijrah semuanya dilaknat di atas lisan Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam hingga hari Kiamat.” [HR An Nasa’i dari Ibnu Mas’ud]

Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang muhajir boleh tinggal selama tiga hari di Makkah setelah menyempurnakan ibadah manasik (‘umrah atau hajinya).” [HR Al Bukhari dan Muslim dari Al ‘Ala’ ibnu al Hadhromi]

‘Ali ibnu Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya dosa besar ada tujuh.” Karena hiruk pikuknya orang-orang, dia ulangi perkataannya tiga kali dan berkata, “Apakah kalian tidak ingin bertanya kepadaku mengenai hal itu?” Mereka berkata, “Ya Amirul Mu’minin, apa saja itu?” Dia menjawab, “Berbuat syirik, membunuh, menuduh wanita baik-baik berzina, mengambil harta anak yatim, memakan riba, lari dari perang, dan kembali ke gurun-gurun sebagai seorang Badui setelah hijrah.” [HR ath Thobari di dalam tafsirnya]

Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Umat Islam berijma’ atas haramnya seorang muhajir meninggalkan hijrahnya dan kembali ke negeri asalnya serta seorang muhajir yang kembali menjadi seorang Badui adalah dosa besar.” [Syarah Shohih Muslim – An Nawawi]

Ibnu Hajar berkata seraya mengomentari hadits Al ‘Ala’ ibnu Al Hadhromi yang dikutip di atas, “Fiqh yang bisa diambil dari hadits ini ialah haramnya tinggal di Mekkah bagi orang yang telah berhijrah darinya sebelum Fathul Makkah. Akan tetapi, diperbolehkan bagi orang yang hendak melaksanakan haji atau ‘umrah untuk tetap di sana tidak lebih dari tiga hari setelah melaksanakan manasik hajinya.” [Fatḥul Bari]

Penting untuk dicatat bahwa hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang dikutip di atas sebagaimana perbincangan antara Salamah ibnu Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu dan al Hajjaj dalam perkara menjadi seorang Badui setelah hijrah [HR Al Bukhari dan Muslim], di samping hadits-hadits dan atsar-atsar lainnya, bahwasanya kembali ke gurun sebagai seorang Badui mengandung akar kata “riddah” (murtad). Ibnu Al Atsir berkomentar, “Mereka (para Salaf) dahulu memandang orang yang setelah hijrah kembali ke negerinya tanpa udzur, serupa dengan orang murtad.” [an Nihayah] Boleh jadi karena orang semacam itu – dalam beberapa hal – mengabaikan aspek-aspek Islam, seperti kewajiban mendengar, taat, jama’ah, jihad, masjid, dan lain-lain.

Dan menurut beberapa ulama, berpindah ke Darul Kufri dari Darul Islam adalah kemurtadan, sementara yang lainnya menetapkan bahwa hal tersebut termasuk mendekati praktik kemurtadan.

Ibnu Hazm berkata, “Jika dia berpindah ke sana (negeri-negeri salibis dan musyrik) untuk mendapatkan sesuatu dari dunia tetapi hidup seperti seorang dzimmi – walaupun mampu bergabung dengan sekumpulan Muslimin dan mencapai negeri mereka – maka perbuatannya tidak jauh dari kekafiran dan kami tidak menemukan satu pun udzur baginya.” [al Muhalla]

Al Hasan ibnu Hayy (wafat 169 H) berkata, “Jika seorang pria berpindah ke Darul Kufri tanpa bermaksud keluar dari Islam, maka dia seorang murtad karena meninggalkan Darul Islam.” [Mukhtashar Ikhtilaf al ‘Ulama` Ath Thohawi]

“Kembali ke Darul Kufri benar-benar merupakan dosa besar yang bisa mengarah menuju derajat kekafiran jika kemudian diikuti, misalnya, secara sukarela berpindah ke negeri di mana orang tersebut dipaksa untuk kafir, sementara udzur paksaan tidaklah sah karena dia mengkondisikan dirinya sendiri dalam keadaan tersebut. Kasus serupa ialah seandainya dia menyetujui syarat-syarat kekafiran – misalnya bekerjasama dengan kuffar melawan Muslimin – agar diizinkan memasuki Darul Kufri. Ini termasuk kekufuran sekalipun dia tidak memenuhi janjinya.

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersamamu; dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti Kami akan membantu kamu.’ Dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan Sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; Sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” [QS Al Hasyr 11-12]

Selain itu, terdapat banyak perbuatan kekafiran lainnya yang memungkinkan seseorang terjatuh ke dalamnya di saat dia bepergian menuju Darul Kufri.

Semoga Allah memudahkan Muslimin berhijrah ke bumi Khilafah meskipun dipenuhi makar orang-orang Salibis dan murtaddin.

http://www.azzammedia.net

Ulasan

  1. Negara Syria, majoriti rakyat sunni. Pemimpin syiah dan ada satu pauk lagi syiah houti. Pegangan mereka bukan al-quran & hadis, mereka ada al-kitab dan hadis sendiri. Mereka syiah, mereka menolak kenabian Muhamad saw jadi mereka kafir.Begitu juga dengan jiran syria. Mereka bercampur syiah. Syiah anti Islam. Syiah menghalalkan darah umat Islam (sunni).. Salahkah mereka lari (terutama kanak-kanak & wanita) ke negara kafir yg berdekatan yg tidak menunjukkan musuh yg nyata sedangkan syiah yg berkembang disekeliling mereka lebih "kejam" dari Yahudi. Sekurang2nya, mereka tidak disambut dengan mata pedang!

    BalasPadam

Catat Ulasan

Ulaslah Yang Terbaik..