{Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil
janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah,
dan berbuat kebaikanlah kepada ibu dan bapak kalian} [Al Baqarah: 83].
{Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu-bapak} [An Nisa: 36].
{Katakanlah,
“Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Yaitu
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang tua} [Al An‘aam: 151].
{Dan Rabbmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil”} [Al Isra’ 23-24].
{Dan Kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan} [Al Ankabut: 8].
Di ayat-ayat tersebut dijelaskan perintah berperilaku baik kepada orang tua diikuti dengan perintah menegakkan tauhid dan larangan memperlakukan bapak dan ibu secara buruk, diikuti dengan larangan berbuat syirik! Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menekankannya hingga tiga kali, “Maukah aku kabarkan yang terbesar dari dosa-dosa besar?
Sahabat menyahut, “Ya, wahai Rasulullah.”
Ia menjawab, “Menyekutukan Allah dan berperilaku buruk pada kedua orang tua”. [Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakrah]
Dia juga mengatakan, “Ridho Allah dalam keridhaan ayahnya dan murka Allah dalam kemurkaan ayahnya.” [Riwayat at Tirmidzi dari Abdullah ibnu Amr]
Diriwayatkan pula oleh Tabi’i Wahb ibn Munabih bahwa Musa ‘alaihissalam bertanya pada Allah, “Wahai Rabb-ku dengan apa engkau perintahkan aku?” Dia subhanahu wata’ala menjawab, “Jangan sekutukan Aku dengan yang lain”. Musa bertanya, “Apalagi?” Dia menjawab, “Berbuat baik pada ibumu.” Musa bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Dia menjawab, “Berbuat baik pada ibumu.” Musa bertanya lagi “Dan apa lagi?” Dia menjawab, “Berbuat baik pada ibumu.” [Az Zuhd- Imam Ahmad]
Lantas bagaimana bisa seorang muwahhid meninggalkan kewajiban tersebut dan melakukan dosa besar kedua setelah syirik dengan memperlakukan kedua orang tuanya secara jahat? Dan bagaimana mungkin seorang muwahhid tidak bersyukur kepada mereka, berbicara dengan baik kepada mereka, dan membersamai mereka dengan kebaikan? Berbuat baik pada mereka adalah kewajiban meskipun keduanya mungkin berbuat dosa, ataupun memerintahkan perbuatan dosa!
Tapi seorang muwahhid harus selalu ingat, ia berkewajiban untuk tidak mentaati orangtuanya yang memerintahkan ketidaktaatan kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat ini, dan sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada siapapun dalam kemaksiatan kepada Allah. Ketaatan hanyalah pada kebaikan.” [Riwayat al Bukhari dan Muslim dari Ali]
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan, “Wajib bagi setiap Muslim untuk mendengar dan taat atas apa yang dia suka ataupun yang ia benci, kecuali diperintah untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintah berbuat dosa, maka tidak perlu mendengarkan dan menaatinya (dalam perkara kedosaan).” [Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar]
Diantara dosa-dosa besar yang banyak orang tua perintahkan kepada anak-anak mereka ialah meninggalkan jihad fardhu ‘ain (jihad yang merupakan kewajiban atas tiap tiap individu). Mereka secara sengaja ataupun tidak sengaja mendistorsi makna beragam dari hadits yang mewajibkan harusnya mendapatkan izin orang tua sebelum mengerjakan fardu kifayah jihad (jihad yang merupakan kewajiban bagi Ummah secara keseluruhan bukan kewajiban tiap individu). Hadits ini harus dipahami dengan dalil lain termasuk firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kerabat, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik’.” [At Taubah: 24]
Ayat ini berkaitan dengan jihad yang tidak bisa ditinggalkan karena alasan mentaati orang tua. Para ulama dengan tegas menjelaskan bahwa jihad itu adalah fardhu ‘ain.
Ibnu Qudamah berkata, “Jika jihad menjadi kewajiban atas seseorang maka minta izin pada orang tua tidaklah dipertimbangkan karena jihad telah menjadi fardhu ‘ain dan meninggalkannya adalah dosa. Tidak ada ketaatan kepada siapapun yang berada dalam ketidaktaatan pada Allah. Serupa halnya dengan masalah haji, shalat berjama’ah, shalat jum’at, pergi untuk menuntut ilmu. Al Awza’i berkata, ‘Tidak ada ketaatan pada orang tua dalam meninggalkan kewajiban, shalat jum’at, haji dan jihad, karena semua itu adalah amalan pengabdian yang menjadi wajib atas setiap individu. Maka meminta izin kepada orang tua tidaklah dipertimbangkan sebagaimana shalat karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.’ [Ali Imran: 97].
Ia tidak mensyaratkan harus meminta izin pada orang tua’.” [Al Mughni]
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah berkata, “Jika musuh berencana menyerang kaum muslimin, maka memukul mundur mereka menjadi kewajiban bagi semua yang menjadi sasaran ataupun yang bukan menjadi sasaran serangan, sehingga mereka dapat saling membantu, sebagaimana perkataan Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Dan jika mereka meminta pertolongan kalian dalam perkara agama, maka kamu wajib menolong.’ [Al Anfal: 72]. Dan sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menolong Muslim.” [Majmu’ al Fatawa]
Para ulama menyebutkan beberapa kasus/hal yang menjadikan jihad melawan kuffar fardhu ‘ain, termasuk diantaranya invasi kaum kuffar terhadap negeri-negeri Islam, pemenjaraan kaum Muslimin, penyerangan tiba-tiba kaum kuffar terhadap Muslimin, dan melawan tentara kuffar yang hendak menyerang. Khalifah hafidzahullah telah menyerukan mobilisasi umum bagi umat, menegaskan kembali kewajiban ini –satu hal yang menjadikan jihad fardhu ‘ain ialah perintah dari Imam Muslimin – lantas bagaimana mungkin seseorang dapat mengabaikan kewajiban yang sangat jelas ini sekarang dan merasa puas dengan kelemahan pada dirinya? Bagaimana bisa seseorang mengklaim dirinya sebagai seorang muwahhid sementara ia memilih kecintaan dan ketaatan pada orang tua daripada Allah disaat inti dari tauhid ialah memilih kecintaan dan ketaatan pada Allah – Pencipta – diatas siapapun dan apapun yang lainnya meskipun mengakibatkan ketidakpatuhan pada seluruh ciptaanNya.
Ibnu Abi Hatim radhiyallahu’anhu meriwayatkan dalam tafsirnya bahwa Amr Ibn Yazid al Khaulani dan Ibn Aun diantara para ulama Salaf rahimahumullah – ketika ditanya seseorang tentang nasehat menjalankan jihad sedangkan orang tuanya tidak menyetujui – hanya akan dijawab dengan bacaan ayat, “Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kerabat, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’.” [At Taubah: 24]
Ini adalah ijtihad mereka di masa dimana kebanyakan hukum jihad ialah fardhu kifayah. Lantas seberapa aplikatif jawaban mereka ketika jihad adalah fardhu ain, sebagaimana hari ini! Lagi, tidak ada perbedaan bahwa seseorang yang meninggalkan jihad dengan alas an apapun ketika hal itu fardhu ain, telah melakukan dosa besar dan jatuh kepada cabang kemunafikan.
Kesalahan lain yang dilakukan beberapa muwahhidin setelah petunjuk Allah datang padanya ialah bahwa mereka menjadi kasar terhadap orang tua mereka ketika menasehatinya, ketika menyeru mereka kepada kebenaran, ketika memerintahkan kebaikan pada mereka, dan melarang mereka atas kemungkaran, padahal Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Musa dan Harun ‘alaihimussalam untuk menasehati Fir’aun dengan kata-kata yang lembut.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Dan berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut [pada Allah].” [Thoha: 43-44]
Ayat ini mengindikasikan bahwa jika seseorang berdakwah – secara umum – harus dilakukan dengan kata-kata yang lembut. Berapa banyak lagi contoh yang harus diberikan apalagi jika penerimanya adalah orang tua? Apalagi kalau mereka muslim!
Abu Daud berkata, ia mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang ibunya mengerjakan shalat dan wudhu secara kurang baik. Imam Ahmad berkata, “Ia harus memberitahukannya dan mengajarkannya.”
Ia kemudian berkata, “Ia menolak untuk diajari dan berkata, ‘Aku lebih tua darimu dan kamu ingin mengajariku??’ Jadi apa menurutmu ia harus memboikotnya atau memukulnya karena hal ini?”
Ia menjawab, ‘Tidak, ia harus mengajarkannya dan memberitahunya’.
Ia kemudian mulai memerintahkannya untuk memberitahu ibunya secara baik.” [Masa’il Abu Dawud]
Harb al Kirmani rahimahullah berkata, ia ditanya tentang Ishaq ibn Rahawaih rahimahullah, “Haruskah seseorang memerintahkan kebaikan atas orang tuanya dan melarangnya dari kejahatan?” Ia menjawab, “Ia harus mengingatkan mereka secara baik. Dan jangan melakukannya di depan umum”.
Ia meriwayatkan bahwa atsar Hasan Basri rahimahullah ditanya oleh Salam Ibn Miskin rahimahullah, “Haruskah aku memerintahkan kebaikan atas orang tuaku dan melarang mereka dari yang buruk?”
ia menjawab, “Nasehati mereka jika mereka menerima. Tetapi jika mereka tidak merespon, maka diamlah.” [Masa’il Harb]
Imam Ahmad juga mengatakan, “Jika seseorang melihat ayahnya melakukan sesuatu yang tidak ia sukai, ia harus mengajarkannya tidak dengan kekerasan ataupun serangan, tidak juga dengan berbicara kasar padanya. Sebaliknya, ia harus meninggalkannya sendiri, karena ayahnya tidak seperti orang asing.” [Al Adab asy Syar’iyyah – Ibn Muflih]
Abul Abbas Ibn Qudamah rahimahullah mendaftar tingkatan hisbah (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar) sebagaimana berikut:
Memberitahu orang yang mengabaikannya, melarang dengan kata-kata yang baik, bukan dengan kekerasan dan celaan (dengan mengatakan “Hai Jahil” atau “Hai Bodoh”), mencegah dengan kekuasaan dalam kaitannya dengan barang-barang dosa atau maksiat bukan hanya pendosanya saja (dengan membuang minuman alkohol, menghancurkan alat-alat music, dll), dan mengancam untuk memukul pendosa dan benar-benar memukulnya (yang hanya dapat dilakukan dengan otoritas atas para pendosa). Kemudian ia berkata, “Seorang anak dapat menggunakan tingkatan hisbah ini: memberitahukan [orang tuanya yang mengabaikan adalah kedosaan], kemudian dengan lembut melarangnya dan menasehatinya, dan tingkatan hisbah keempat, ia dapat menghancurkan alat musik, membuang khamr mereka, dan seterusnya.” [Mukhtasar Minhaj al Qasidin].
“Ia tidak diperbolehkan untuk mempraktekkan hisbah pada mereka dengan mencela, melakukan kekerasan, mengancam, atau memukul secara fisik.” [Al Ihya]
Pembahasan ini menjelaskan bahwa perlakuan kasar terhadap orang tua tidak diperbolehkan ketika berdakwah kepada mereka ataupun melakukan hisbah amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka.
Kita mohon kepada Allah agar memasukkan kita dan orang tua kita ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur padaNya. Kita juga mohon kepadaNya agar menunjuki orang tua kita pada jalanNya yang lurus.
http://www.azzammedia.net
Ulasan
Catat Ulasan
Ulaslah Yang Terbaik..