Dari Perang Ahzab ke Perang Koalisi – Bagian Pertama

 Ahzab Coalition

“Tidak ada seorang lelaki pun yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa ini melainkan ia pasti dimusuhi.”

Seperti inilah gambaran yang dikatakan Waraqah ibnu Naufal kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam atas reaksi kaumnya terhadap dakwahnya. Harapan Waraqah ialah bersama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ketika Nabi diusir, namun hidup Waraqah tidak mencapai masa itu.
Setelah itu, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mulai menjalankan tugas yang karenanya Allah ‘azza wa jalla mengutusnya. Kaumnya merespon dakwahnya dengan permusuhan yang besar. Mereka menuduhnya sebagai tukang sihir, pendusta, orang gila, penyair, tukang tenung, pengada-ngada, peniru, di samping tuduhan-tuduhan lainnya… Padahal sebelumnya mereka memandangnya sebagai seorang lelaki yang jujur dan amanah! Mereka menawari beliau kerajaan, wanita, dan harta, tetapi beliau menolaknya disebabkan keikhlasan dan demi keridhaan Allah. Mereka akhirnya membuat makar untuk membunuh atau mengusir beliau, tetapi Allah membalas makar musuh-musuhnya dan memerintahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam untuk meninggalkan tempat paling diberkahi di muka bumi, yaitu Makkah, menuju tempat tinggal baru di Madinah.


Sebuah Daulah pun berdiri dimana Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan pasukannya berjuang melawan kafilah musyrikin, peristiwa yang mengantarkan pada Ghozwah Badar al Kubro. Kaum musyrikin marah, lalu mengirim wakil dan pasukan mereka.
Akhirnya kaum Muslimin berperang dengan musyrikin Arab, suku-suku Badui Jazirah Arab, Yahudi, dan munafiqin Madinah. Tatkala Daulah di atas manhaj kenabian bertambah kuat, kebencian dan kemarahan kuffar berkembang menjadi Ghozwah Ahzab (“Perang Sekutu”). Orang-orang Yahudi mengadakan makar dengan orang-orang munafiq dan meyakinkan kabilah-kabilah Arab untuk menyerang Madinah sementara mereka menimbulkan huru-hara dari dalam. Kaum Quraisy, Kinanah, dan sekutu-sekutu mereka bergerak dari arah selatan. Ghathafan, suku-sukunya, dan sekutu-sekutu mereka bergerak dari arah timur. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang, lalu mereka mengepung Madinah selama sebulan lamanya, sementara pihak Muslimin kalah dalam jumlah. Akan tetapi, kesabaran mereka dalam menghadapi perang, ketakutan, kelaparan, dan ekstrimnya cuaca, membawa kaum Muslimin pada kemenangan. Kabar baik dari Nabi ialah setelahnya mereka akan menjadi pihak yang menyerang dan orang-orang musyrik menjadi pihak yang bertahan.[1]

Perang Ahzab yang Baru

Sebagaimana halnya para sahabat harus menghadapi koalisi berbagai kelompok, Yahudi, musyrikin, dan munafiqin dalam Ghozwah al Ahzab, kaum Muslimin Daulah Islamiyyah juga menghadapi koalisi berbagai kelompok kafir yang mempunyai kepentingan bersama untuk menghancurkan Khilafah. Dan sebagaimana halnya reaksi para sahabat atas kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam keyakinan, “Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kita. Dan benarlah Allah dan RasulNya.’ Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan,” [QS Al Ahzaab 22], maka demikian pula seharusnya reaksi Muslimin ketika melihat koalisi yang berjumlah banyak ini berkumpul dan bermobilisasi. Di sini kami berusaha memberikan beberapa wawasan ke dalam berbagai koalisi yang beragam supaya kaum Muslimin bisa berupaya melawan mereka dalam ucapan dan perbuatan, sebab, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” [HR Imam Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu ‘Umar], dan supaya, “Jelaslah jalan orang-orang yang berdosa.” [QS al An’aam 55]

Koalisi Salibis

Walaupun koalisi ini tampak seperti baru, sebenarnya ia mulai eksis sejak tahun “2001” dalam “Operation Enduring Freedom” di Afghanistan. Dengan cepat ia meluas ke Filipina, Tanduk Benua Afrika, Lintas Sahara, dan Kaukasus. Kemudian pada tahun “2003” pihak salibis meluncurkan operasi kedua yang dikenal dengan “Operation Iraqi Freedom” di Iraq. Diikuti oleh operasi ketiga yang disebut dengan “Operation Inherent Resolve” yang diluncurkan pada tahun “2014” di Iraq dan Suriah melawan Daulah Islamiyyah.[2] Tidak ada satu pun dalam operasi tersebut yang  berhasil dalam mengatasi bangkitnya kembali Khilafah, kelanjutannya, dan ekspansinya. Justru sebaliknya, Khilafahlah yang terus bertahan dengan ketetapan yang melekat padanya, buah dari penegakan Tauhid dan Wala wal Baro’.

Serangan udara Salibis di Iraq pada tahun 2003
Serangan udara Salibis di Iraq pada tahun 2003

Koalisi Salibis untuk operasi Iraq dan Suriah – “Operation Inherent Resolve” – secara resmi meliputi negara-negara dan lembaga-lembaga berikut:

Albania, Amerika Serikat, Australia, Austria, Bahrain, Belanda, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Georgia, Hongaria,Inggris, Iraq, Irlandia, Islandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Kosovo, Kroasia, Kuwait, Latvia, Lebanon, Liga Arab, Lithuania, Luxemburg, Macedonia, Maroko, Mesir, Moldova, Montenegro, Norwegia, Oman, Panama, Polandia, Portugal, Prancis, Qatar, Rumania, Arab Saudi, Selandia Baru, Serbia, Singapura, Siprus, Slovakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Swedia, Taiwan, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Uni Eropa, Yordania, dan Yunani.[3]

Rezim dan kekuatan militer lainnya yang didukung oleh Barat namun tidak disebutkan di atas ikut ambil bagian dalam perang melawan Daulah Islamiyyah di kawasan-kawasan yang lebih jauh. Benina, Chad, Kamerun, Niger, Nigeria, dan Uni Afrika terlibat dalam perang melawan Daulah Islamiyyah di wilayah Afria Barat. Afganistan, Armenia, Azerbaijan, Mongolia, NATO, dan Pakistan – selain banyak negara yang tersebut dalam daftar pertama – terlibat dalam perang melawan Wilayah Khurosan.

[4] Aljazair, Libya, Tunisia, dan Yaman terlibat dalam perang melawan Daulah Islam di kawasan mereka masing-masing. Negara Yahudi secara terbuka terlibat perang melawan Wilayah Sayna’, di samping secara diam-diam terlibat bersama Salibis di sebagian besar perang melawan wilayah-wilayah Daulah Islamiyyah. Dewan Kerjasama Negara-negara Teluk, India, Indonesia, Malaysia, Organisasi Kerjasama “Islam”, Kirgistan, dan Swiss juga terlibat – dalam tingkat politik, dana, intelijen, dan dalam kebanyakan kasus, di ranah militer – dalam perang melawan Islam dan Khilafahnya.[5]

Sementara itu, berikut ini sekutu-sekutu terpenting Amerika: Iran, Suriah, dan Rusia.

Kerjasama di Tingkat Front
Sekalipun kerjasama salibis Barat dengan Iran, Suriah, dan Rusia tidak dapat dipungkiri, mereka berusaha untuk melemahkannya secara resmi demi menyembunyikan peran mereka dalam perang Shofawiy melawan Muslimin. Di sini kami memberikan beberapa wawasan mengenai hubungan ini, walaupun perkara tersebut tampak lebih terang daripada matahari di siang bolong.
Sebelum operasi 11 September yang berbarokah sekalipun, Amerika telah bekerjasama dengan Iran lewat kerjasama mereka di bawah PBB bernama “Siz Plus Two Group”, yang mana bagian dari makar melawan mujahidin Khurosan. Pasca 11 September, kerjasama berkembang menjadi apa yang dikenal dengan nama “Geneva Contact Group” selama pemerintahan salibis George W. Bush. Kerjasama itu mengharuskan Iran menyediakan tenaga intelijen bagi para salibis, membangun hubungan antara para salibis dan kelompok “Aliansi Utara” di Afghanistan dan menangkap mujahidin yang berupaya melewati perbatasan Iran dalam perjalanan mereka ke Kurdistan Iraq atau tujuan lainnya. Iran menyediakan beberapa pelabuhan dan bandara militernya bagi misi salibis, “Pasukan Penjaga Revolusioner Islam”-nya bekerjasama dengan Pusat Operasi Khusus AS dan CIA di Afganistan, dan keterlibatannya dalam pembentukan rezim boneka Afghanistan yang murtad. Bulan-bulan selanjutnya mengantarkan pada invasi Amerika atas Iraq, sekali lagi pihak Amerika bekerjasama dengan Iran, tetapi kali ini sebagian besar dilakukan melalui Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran Inggris. Kerjasama mencapai puncaknya melalui pembentukan rezim Shofawiy Iraq yang pada dasarnya adalah boneka Iran.[6]

Pada “6 November 2014,” “Wall Street Journal” mengeluarkan artikel berjudul “Obama Wrote Secret Letter to Iran’s Khamenei about Fighting Islamic State – Presidential Correspondence with Ayatollah Stresses Shared U.S.- Iranian Interests in Combating Insurgents, Urges Progress on Nuclear Talks” (“Obama Menulis Surat Rahasia kepada Pemimpin Iran Khamenei terkait Memerangi Daulah Islamiyyah – Surat Menyurat Presiden dengan Ayatullah Menekankan Pembagian Kepentingan AS-Iran dalam Menyerang Pemberontak, Menginginkan Perkembangan dalam Pembicaraan Kesepakatan Nuklir”). Di dalam artikel tersebut, mereka melaporkan bahwa, “Secara rahasia, Obama menulis surat yang ditujukan pada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei” dan bahwasanya suratnya tersebut “menjelaskan sebuah kepentingan bersama dalam memerangi kelompok militan Daulah Islam di Iraq dan Syam.” Surat itu “ditujukan untuk melatarbelakangi perang melawan Daulah Islam dan mendorong para pemimpin spiritual Iran semakin dekat pada kesepakatan nuklir” dan menekankan “bahwa kerjasama apa pun terkait Daulah Islamiyyah sebagian besar bergantung pada Iran untuk mencapai persetujuan komprehensif dengan kekuatan global dalam program nuklir masa depan Iran.

” Surat itu juga “menandai setidaknya untuk keempat kalinya Obama menulis surat kepada pemimpin politik dan spiritual Iran paling kuat semenjak menduduki kantor kepresidenan pada 2009 dan berjanji untuk mengadakan hubungan dengan pemerintahan Islam Teheran” dan “menggarisbawahi bahwa Obama memandang Iran sebagai negara penting… bagi kampanye militer dan diplomasinya untuk mendesak Daulah Islamiyyah dari wilayah-wilayah yang direbutnya.” Melalui surat itu, Obama berusaha “untuk mengurangi perhatian Iran mengenai masa depan sekutu dekatnya, Presiden Bashar al Assad dari Suriah” dan memastikan kembali pada Iran bahwa “operasi militer AS di Suriah tidak menargetkan Assad atau pasukan keamanannya.” Mereka juga melaporkan bahwa “pemerintahan Obama mengadakan pembicaraan rahasia dengan Iran di ibukota Oman Muskat pada pertengahan 2012”  dan “Sekretaris pers Gedung Putih Josh Earnest…

mengakui para pejabat AS di masa lalu telah membahas perang melawan Daulah Islamiyyah bersama para pejabat Iran di sela-sela pembicaraan nuklir internasional. Dia menambahkan, negosiasi tetap berpusat pada program nuklir Iran.” Mereka juga melaporkan bahwa, “Obama mengirim dua surat kepada pemimpin tertinggi Iran yang berusia 75 tahun itu selama paruh pertama tahun 2009, menyerukan perbaikan hubungan AS-Iran… Hubungan AS-Iran telah mencair dengan sebenar-benarnya sejak pemilu Presiden Hasan Rouhani pada Juni 2013. Dia dan Obama saling menelepon selama 15 menit pada September 2013, pun Tuan Kerry dan Zarif secara reguler telah mengadakan pembicaraan langsung mengenai diplomasi nuklir dan permasalahan-permasalahan regional” dan “Departemen Luar Negeri telah mengkonfirmasi bahwa para pejabat senior AS telah melakukan pembahasan mengenai Iran dengan Zarif di sela-sela negosiasi nuklir di Wina.

Para diplomat AS juga telah mengirim pesan ke Teheran via pemerintahan Abadi di Baghdad dan melalui kantor Ayatullah Tinggi Iraq Ali as Sistani, salah satu pemimpin agama Syi’ah paling kuat di dunia. Menurut para pejabat AS, di antara pesan yang disampaikan ke Teheran ialah operasi militer AS di Iraq dan Suriah tidak bertujuan untuk melemahkan Teheran atau para sekutunya. ‘Kami mengirim pesan ke Iran melalui pemerintah Iraq dan al Sistani bahwa tujuan kami ialah melawan ISIS,’ kata seorang pejabat senior AS yang menjelaskan pembicaraan tersebut. ‘Kami tidak memanfaatkan hal ini sebagai kesempatan untuk menduduki kembali Iraq atau meruntuhkan Iran.’”

Setelah surat ini, pemimpin Rofidhoh Khamenei menjawab sendiri dengan selembar surat kepada Obama. “Wall Street Journal” melaporkannya di dalam artikel tertanggal “13 Februari 2015” berjudul “Iran’s Ayatollah Sends New Letter to Obama amid Nuclear Talks” (“Ayatullah Iran Mengirim Surat Baru kepada Obama di tengah-tengah Pembicaraan Nuklir”) bahwa Khamenei merespon positif dengan surat yang mengupayakan untuk mencari hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat dan kerjasama lebih lanjut melawan Daulah Islamiyyah.

Akan tetapi, sebenarnya kerjasama sudah terjalin di lapangan untuk beberapa waktu. Pada “31 Agustus 2014,” “New York Times” menerbitkan artikel berjudul“U.S. and Iran Unlikely Allies in Iraq Battle” (“AS dan Iran adalah Sekutu yang Sulit Dipercaya di dalam Perang Irak”). Mereka melaporkan bahwa seorang pejabat senior pemerintahan AS berkata, “Kami tidak berkoordinasi dalam bentuk apa pun dengan milisi-milisi Syi’ah – tetapi ia menyebut kemungkina terjadi dengan ISF [‘Pasukan Keamanan Iraq’],” lalu komentarnya sebagai berikut, “Namun diketahui betul bahwa milisi-milisi Syi’ah telah berperang bersama tentara Iraq selama beberapa bulan terakhir ketika ancaman ISIS semakin nyata.” Kemudian di dalam artikel itu mereka berkata bahwa “pemerintahan Obama telah berusaha menghindar agar tidak terlihat berpihak dalam perang sektarian, khususnya karena milisi-milisi Syi’ah ditakuti oleh orang-orang Sunni Iraq. Akan tetapi, di akhir minggu ini, kenyataan di lapangan mengesampingkan permasalahan apa pun mengenai dukungan bagi milisi-milisi tersebut secara efektif.” Intinya, pihak Amerika bekerjasama dengan Iran, militernya, dan milisinya, namun dilakukan melalui rezim Shofawiy Iraq – meniru perbuatan orang-orang Yahudi yang bekerja tapi “tidak bekerja” pada hari Sabtu meskipun ada larangan, dan karenanya mereka diubah menjadi kera dan babi. Perbuatan ini serupa dengan klaim Jabhah Jawlaniy, yang mana mereka mengaku tidak bekerjasama dengan thowaghit ketika bekerjasama dengan faksi-faksi thowaghit…

Adapun kerjasama Amerika dengan rezim Suriah, maka hal ini telah terjadi semenjak program penerjemahan AS yang mengetahui banyaknya mujahidin yang dikirim ke Suriah hanya untuk kemudian disiksa di tangan Ba’athist Nushairiyyah atas nama pihak Amerika. Rezim Suriah juga menjadi dalang penghukum semua pendukung jihad di Suriah dalam melawan Amerika di Iraq di masa bangkitnya gerakan Shohawat pro Amerika. Banyak faksi Shohawat menempatkan pimpinan mereka di Suriah dan isi khutbah-khutbah Jum’at digiring untuk mendukung mereka. Kerjasama AS-Suriah menjadi sangat nyata akhir-akhir ini dalam serangan udara salibis. “Washington Post” melaporkan pada tanggal “23 September 2014” dalam artikel berjudul “Syria Informed in Advance of U.S.-Led Airstrikes against Islamic State” [Berbagi Informasi dengan Suriah dalam Pergerakan Serangan Udara Pimpinan AS Melawan Daulah Islamiyyah] bahwa seorang juru bicara wanita di Departemen Luar Negeri mengatakan, “Amerika Serikat berbagi informasi dengan Suriah dalam pergerakan serangan udara membombardir target-target tertentu termasuk pertahanan Daulah Islamiyyah.” Artikel tersebut menambahkan bahwa hal ini “menandai diperlihatkannya interaksi yang langka antara Washington dan wakil-wakil Presiden Suriah Bashar al Assad. …

 Letnan Jenderal Militer William C. Mayville Jr., direktur Pentagon untuk operasi militer, menggambarkan radar militer Suriah bertindak ‘pasif’ selama terjadinya serangan udara, tidak ada upaya untuk membalasnya.… pemberian target terkesan lebih kecil tapi penting oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang telah memberikan dukungan diplomatik dan militer terbatas kepada para pemberontak yang berusaha menggulingkan Assad. Perluasan serangan udara pimpinan AS ke Suriah sekarang bisa membuka hubungan baru dengan pemerintahan Assad …

Kantor berita pemerintah Suriah Syrian Arab News Agency (SANA) mengatakan, Amerika Serikat menginformasikan perwakilan Suriah ke Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa pihaknya mengadakan serangan udara. [Juru bicara wanita Departemen Luar Negeri AS Jen Psaki mengkonfirmasikan adanya kontak tersebut tetapi tidak mengatakan kapan terjadinya.” Artikel tersebut juga merujuk sebuah laporan “SANA” yang menyatakan Menteri Luar Negeri John Kerry telah mengirim surat kepada Walid Muallem (menteri luar negeri rezim Nushairiyyah) yang memberitahukan rencana para salibis untuk mulai menyerang posisi Daulah Islamiyyah.

Menurut sebuah laporan Reuters pada tanggal yang sama berjudul “Syria’s U.N. Envoy Says Told of Airstrikes by Samantha Power” (“Duta Besar PBB untuk Suriah Mengatakan Adanya Pemberitahuan Serangan Udara oleh Samantha Power”), Duta Besar PBB untuk Suriah Bashar Ja’afari menginformasikan Reuters pada hari Selasa bahwa dia secara pribadi diberitahu oleh Duta Besar AS Samantha Power bahwa serangan udara yang akan segera terjadi oleh AS dan Arab menargetkan wilayah Suriah beberapa jam sebelum waktu yang ditetapkan. Ja’afari berkata bahwa Power memberitahu dirinya sebagai tambahan bahwa ‘kami berada dalam koordinasi yang dekat dengan Iraq.’ Utusan AS mengkonfirmasikan bahwa Power telah memberitahu Ja’afari.”

Pernyataan ini kembali diulangi oleh thoghut Bashar dalam sebuah wawancara dengan BBC pada tanggal “10 Februari 2015.” Di dalam artikel berjudul “Assad Says Syria Is Informed on Anti-IS Air Campaign” (“Assad Mengatakan bahwa Suriah Diberitahu mengenai Serangan Udara Anti-IS”), pihak BBC melaporkan, “Presiden Suriah Bashar al Assad mengatakan bahwa pemerintahannya menerima pesan dari koalisi pimpinan AS untuk memerangi kelompok jihad, Daulah Islamiyyah. Assad mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada kerjasama langsung sejak dimulainya serangan udara di Suriah pada bulan September. Akan tetapi, kelompok-kelompok ketiga – di antaranya Iraq – membagi ‘informasi’ … mengenai serangan mendadak oleh pesawat-pesawat tempur AS dan Arab atas Suriah.”

Amerika juga melayani kepentingan rezim Suriah dengan mendukung PKK, sebuah partai yang bersekutu dekat dengan pihak rezim semenjak awal revolusi bersenjata di Syam dan terus berperang bersama di barisan rezim di Wilayah al Barakah. Amerika juga menuntut untuk melindungi rezim Ba’ats dan tentaranya agar menjamin suatu transisi ke arah negara pluralis yang sesuai dengan Dien yang dianut Amerika. Syarat mereka sederhana sekali; menuntut thoghut Asad diganti tetapi rezim dan tentaranya tetap utuh. Perbincangan ini kemudian ditanggapi serius di atas meja perundingan dengan kelompok murtad Koalisi Nasional Suriah dan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

Kabar terkait Amerika yang melayani kepentingan rezim Suriah juga disoroti oleh mantan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel. “Washington Times” melaporkan pada “30 Oktober 2014” dalam artikel berjudul “Syria Airstrikes Spur White House Infighting over Benefit to Assad” (“Serangan Udara Suriah Membuat Peperangan yang Dilakukan Gedung Putih Menguntungkan Assad”) bahwa “Menteri Pertahanan Chuck Hagel mengakui untuk pertama kalinya pada hari Kamis bahwa serangan udara pimpinan AS melawan Daulah Islamiyyah akan menguntungkan Presiden Suriah Bashar Assad … ‘Ya, Assad mengambil beberapa keuntungan,’ kata Hagel kepada para wartawan di Pentagon …

Sembari menggambarkan ruwetnya keadaan di Suriah, Hagel berkata bahwa pemerintah terus meminta untuk menggulingkan Assad meskipun kenyataannya pemerintah justru membantunya.” Laporan tersebut menambahkan bahwa sebuah sumber pemerintah memberitahukan “pemikiran yang logis di antara beberapa orang di dalam pemerintahan ialah dengan diserangnya aset Suriah, maka hal itu akan merusak pembicaraan masalah nuklir antara AS dan Iran, sekutu dekat Assad.”

Rusia juga terlibat dalam perang melawan wilayah Qawqaz, selain berada di pihak Amerika Serikat, Rofidhoh, dan Nushairiyyah di Iraq dan Syam dalam perang melawan Daulah Islamiyyah. Adapun di Iraq dan Syam, maka Direktur Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) Alexander Bortnikov mengatakan kepada wartawan pada “20 Februari 2015” bahwa “Amerika  Serikat dan Rusia bisa memulai pengadaan pertukaran intelijen untuk mengalahkan Daulah Islamiyyah.” Didahului oleh laporan dari “New York Times” pada “14 Oktober 2014” berjudul “U.S. and Russia Agree to Share More Intelligence on ISIS” (“AS dan Rusia Setuju untuk Lebih Sering Bertukar Intelijen dalam Hal ISIS”). Di dalam laporan tersebut, mereka menyatakan, “Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan pada hari Selasa bahwa Amerika Serikat dan Rusia telah setuju untuk saling bertukar lebih banyak lagi intelijen dalam masalah Daulah Islamiyyah, sementara dia berusaha meletakkan landasan untuk meningkatkan kerjasama dengan Moskwa… Kerry menegaskan bahwa dia menerima kerjasama yang lebih luas dengan Putin setelah pertemuan di sini dengan Sergey V. Lavrov, menteri luar negeri Rusia. …

Dengan catatan bahwa 500 atau lebih sukarelawan Daulah Islamiyyah datang dari Rusia, Kerry berkata dia telah mengajukan gagasan bahwa kedua belah pihak saling meningkatkan pertukaran intelijen dalam melawan kelompok militan tersebut dan ancaman teroris lainnya, sementara Lavrov menyetujuinya. Dengan membuka pintu kerjasama di Iraq, Kerry mengatakan bahwa Lavrov telah menyetujui untuk menimbang-nimbang apakah Rusia akan lebih banyak memberikan dukungan pada pemerintahan Iraq yang terjebak dalam peperangannya melawan Daulah Islamiyyah – termasuk dengan menyediakan senjata.”

Rusia juga mendukung rezim Iraq yang didukung Amerika Serikat secara terbuka. Melalui kantor berita pemerintah Rusia Itar- Tass, Menteri Luar Negeri Rusia merilis sebuah pernyataan pada “26 September 2014” mengenai pertemuan yang diadakan antara Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Perdana Menteri Iraq Haider al Abadi. Kementerian Luar Negeri berkata dalam pernyataan tersebut, “Selama berlangsungnya pertemuan, Lavrov mengkonfirmasikan dukungan Rusia bagi kemerdekaan Iraq, baik dalam bentuk integritas maupun kedaulatan wilayah… Moskwa siap untuk melanjutkan dukungannya pada Iraq dalam upayanya untuk memerangi ancaman teroris, terutama yang berasal dari Daulah Islamiyyah.”

Menurut “New York Times” di dalam artikel berjudul “Russian Jets and Experts Sent to Iraq to Aid Army” (“Pesawat-pesawat Jet dan Para Ahli Rusia Dikirim ke Iraq untuk Membantu Militer”) yang dirilis pada tanggal “29 Juni 2014,” “Para pejabat pemerintah Iraq mengatakan pada hari Ahad bahwa para ahli Rusia telah tiba di Iraq dalam rangka membantu militer Iraq untuk mendapatkan 12 pesawat tempur Rusia dalam perang menghadapi para ekstrimis Sunni … ‘Tiga atau empat hari lagi pesawat udara akan siap digunakan untuk mendukung pasukan kami dalam perang’ melawan para pemberontak Daulah Islamiyyah Iraq dan Syam, kata Jenderal Anwar Hama Ameen, komandan Angkatan Udara Iraq, merujuk pada pesawat udara SU-25 yang diterbangkan ke Iraq yang diangkut menggunakan pesawat-pesawat kargo Rusia pada malam Sabtu. Dua lagi diperkirakan datang pada Ahad nanti. Komandan Angkatan Udara Iraq, Jenderal Ameen, mengatakan bahwa para ahli militer Rusia telah tiba untuk membantu menyediakan pesawat-pesawat tempur SU-25, namun mereka hanya akan tinggal dalam waktu yang singkat. Lima pesawat udara Rusia terakhir akan tiba hari Senin, ujarnya … Ini merupakan laporan pertama bantuan militer Rusia di negara tersebut, meskipun Jenderal Ameen berkata bahwa mereka adalah para ahli, bukan penasihat. …

Pada hari Kamis, Perdana Menteri Nuri Kamal al Maliki mengatakan bahwa pihak Iraq, berdasarkan kesepakatan dengan Menteri Pertahanan Rusia, telah meminta puluhan SU-25, sebuah jet tempur darat yang berguna bagi operasi dukungan udara jarak dekat. ‘Pesawat-pesawat tersebut datang cepat sekali,’ kata Jenderal Ameen dalam sebuah wawancara telepon, ‘karena kami membutuhkannya sesegera mungkin dalam konflik melawan para teroris ini.’ Dia mengatakan bahwa pihak Rusia akan meninggalkan Iraq kira-kira tiga hari setelah pesawat udara siap digunakan. …

Jenderal Ameen mengatakan bahwa mereka masih mengharapkan berlangsungnya kembali hal seperti ini dalam waktu dekat. ‘Kami memiliki pilot-pilot yang mempunyai pengalaman lama dalam menerbangkan pesawat ini dan tentu saja kami mempunyai kawan-kawan Rusia yang membantu dan ahli-ahli yang mendatangkan pesawat udara ini untuk mempersiapkannya,’ katanya. ‘Hal ini nantinya akan menghasilkan serangan yang sangat kuat terhadap para teroris.’ …

Pesawat udara baru ‘akan meningkatkan dan membantu kekuatan serta kemampuan pasukan udara Iraq untuk melenyapkan terorisme.’ Demikian sebuah pernyataan yang dikatakan oleh Kementerian Pertahanan Iraq.”

Menurut “The Hill” di dalam artikel berjudul “Hagel: US knows Iran, Russia aiding Iraq in fight against ISIS” (“Hagel: AS tahu bahwa Iran, Rusia membantu Iraq dalam perang melawan ISIS”) yang dirilis pada “11 Juli 2014,” Chuck Hagel mengomentari laporan bahwa “dengan mengutip para pejabat militer Iraq, Iran dan Rusia tengah melakukan serangan udara di negara mereka, yaitu dengan menyerang target-target Daulan Islamiyyah di Iraq dan Syam (ISIS),” dengan mengatakan, “Kami menyadari upaya pihak Iran dan Rusia untuk membantu Iraq.”

Maka dengan demikian, Iran dan semua sekutunya langsung terlibat dalam perang Salibis memerangi Daulah Islamiyyah. “Foreign Policy” melaporkan pada “12 November 2014” dalam artikel berjudul “Who Has Contributed What in the Coalition against the Islamic State?” (“Siapa yang berkontribusi terhadap semua yang ada di dalam Koalisi melawan Daulah Islamiyyah?”), “Walaupun Iran bukan rekanan koalisi yang diakui, tetapi Iran dan Amerika Serikat berunding secara informal.”
Semua ini berpuncak pada kesepakatan nuklir “Kerjasama Rencana Aksi Komprehensif” antara Barat yang dipimpin AS dan rezim dukungan Rusia.

Pada akhirnya, Amerika melayani kepentingan Dinasi Shofawiy dengan membantu serangan udara, intelijen, dan politiknya, sementara Dinasti Shofawiy pun bekerjasama dengan pihak Amerika secara sama dalam melawan mujahidin. Hal ini terjadi secara rahasia, tidak langsung, dan bahkan secara terang-terangan. “Penengah” – jika dibutuhkan – ialah rezim boneka Shofawiy di Iraq. David Petraeus (mantan komandan tertinggi Amerika di Iraq) mengomentari perang pemerintahan Obama dengan mengatakan, “Bantuan pasukan udara untuk milisi-milisi Syiah atau sebuah perang antara Syiah atas Sunni Arab tidak mungkin dilakukan Amerika Serikat.” Dan hal inilah yang tengah terjadi, bahkan ia adalah perang melawan Islam, bukan melawan Arab.


[1] Allah ‘azza wa jalla mengisahkan peristiwa perang menentukan ini dalam al Qur’an Surat al Ahzab ayat 9-27 bagi orang-orang beriman untuk merenungkannya.
[2] Catatan: Berbagai nama operasi tersebut dibuat oleh Amerika. Negara-negara salibis lainnya membuat nama operasi mereka sendiri.
[3] Daftar ini dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS dan dikeluarkan kembali oleh sejumlah Channel media Amerika. Mereka lupa menyebut Iran, Rusia, dan Suriah yang semuanya termasuk anggota penting dalam koalisi melawan Daulah Islamiyyah
[4] Lebih dari tiga belas ribu pasukan salibis dan rezim murtad terus menduduki Afganistan guna membela rezim Afghanistan yang murtad. Armenia, Azerbaijan, dan Mongolia, selain banyak negara yang disebutkan dalam daftar “Operation Inherent Resolve” – termasuk Turki – ialah anggota operasi salibis NATO yang dikenal dengan “Operation Resolute Support” ini. Adapun untuk Pakistan, maka ia merupakan sekutu dekat Amerika Serikat dalam perang melawan Daulah Islamiyyah Wilayah Khurosan.
[5] Ini hanya sebagian dari daftar yang ada. Jika ada yang mau menambahkannya dengan negara-negara yang terlibat secara rahasia, diam-diam, atau pasif dalam perang melawan Daulah Islamiyyah, maka hal itu akan meliputi semua negara di dunia, terutama dengan mengetahui bahwa tidak ada negara kafir asli yang mengadakan perjanjian damai dengan Daulah Islam.
[6] Kerjasama ini telah didokumentasikan oleh media Amerika, Inggris, dan Iran. Terdapat pula catatan pernyataan oleh Hillary Mann, James Dobbins, Karl Inderfurth – tiga orang mantan diplomat Amerika yang terlibat dalam makar ini – di samping juga Jack Straw (mantan sekretaris luar negeri Inggris), Mohsen Aminzadeh (mantan wakil menteri luar negeri Iran), dan Mohammad Khatami (mantan presiden Iran). Mereka semua menjelaskan pembenaran, sejarah, dan rincian pertemuan mereka.

Kredit : http://www.azzammedia.net

Ulasan